Tugu Radio Rimba Raya, Jalan Desa dan Film

Kepulangan lebaran 1438 H (2017 M) saya kali ini ke rumah orang tua saya rada istimewa. Kalau biasanya lebaran hanya diisi dengan bersilaturahmi ke keluarga atau tetangga maka kali ini saya mendapat kegiatan tambahan yang sangat lain berupa MENGAJARKAN MEMBUAT FILM DOKUMENTER kepada beberapa anak muda desa tempat orang tua saya tinggal. Desa itu terletak di daerah Pintu Rime Gayo, kabupaten Bener Meriah, propinsi Nanggro Aceh Darussalam.  
Memberi sedikit keterangan di awal pembuatan film


Ide membuat film dokumenter ini sebenarnya tidak sengaja. Pada pagi menjelang siang di hari pertama Idul Fitri 1438 H, beberapa anak muda datang ke rumah orang tua saya untuk bersilaturahmi. Pada saat mau pamit pulang, di satu bagian rumah orang tua saya yang ada awetan katak besar dan ular kobra, mereka melakukan foto selfie atau swafoto dengan kamera telefon genggam  mereka. Namanya anak muda, berbagai macam gaya mereka lakukan  untuk swafoto mereka dan tanpa malu-malu. Melihat mereka bersemangat BERNARSIS ria, saya lalu katakan “Bagaimana kalau kemampuan narsis kalian, diungkapkan sekalian di film?”
“Kebetulan saya membawa peralatan standart untuk membuat film dokumenter seperti handycam dan kamera DSLR” sambung saya. 
        Dengan semangat 45 mereka langsung balas “Boleh bang!”


“Kalau begitu nanti musti ada yang jadi aktor atau aktris, tukang ambil gambar dari handycam dan foto dari kamera DSLR” saya menambahkan.
Pengambilan adegan di jalan raya
“Berarti abang nanti ajari kami! Siang ini, kami bisa himpun anak-anak muda sini untuk pembuatan film” kata salah seorang dari mereka sambil memperhatikan, memegang dan mencoba-coba handycam dan kamera digital yang saya tunjukkan ke mereka.
“Bisa kita buat sore ini filmnya ya bang ?” pinta mereka.
“Filmnya tentang tugu Radio Rimba Raya yang ada di dekat sini saja bang” tambah mereka.  
“Ok! In Shaa Allah kita buat sore ini” jawab saya.

Dalam beberapa tahun ini saya sendiri beraktifitas di Jakarta. Tentunya untuk Idul Fitri, saya pulang kampung ke daerah propinsi paling Barat dan Utara Indonesia yaitu Nanggro Aceh Darussalam adalah dengan pesawat udara. Salah satu situs internet yang bisa saya lihat untuk mengontrol fluktuasi harga tiket pesawat adalah tiket.com dengan tautan di http://www.tiket.com/. Dengan situs ini, saya bisa mendapat harga tiket yang lebih murah.

Semangat membuat film terpaksa kami tunda di sore hari pertama lebaran 1438 H itu karena hujan. Tidak ada konfirmasi dari mereka sampai malam hari sehingga saya pikir mereka melupakan keinginan mereka. 

         Tapi ternyata di pagi esok harinya, salah seorang anak muda datang ke rumah orang tua saya dan menanyakan apakah kita bisa mengambil gambar untuk film di hari ini. Saya jawab tentu saja bisa. Dan untungnya lagi saya sudah mencas batre handycam maupun kamera saya di malam harinya. 
Pengambilan adegan film dengan latar belakang Tugu Radio Rimba Raya



Kami membawa semua peralatan pembuatan film berupa handycam dan kamera DSLR ke masjid sebelah rumah orang tua saya. Di tempat itu beberapa anak-anak muda sudah berkumpul baik laki-laki maupun wanita. Begitu saya sampai, ternyata mereka sudah membagi tugas mereka masing-masing dengan baik. Ada yang bertugas sebagai aktor/aktris, pengoperasi handycam dan pengoperasi kamera DSLR.

Dan mereka langsung MENDAULAT saya menjadi sutradaranya sekaligus PEREKAYASA skenario filmnya. Mereka tembak langsung dengan bertanya bagaimana skenario film yang mau dibuat dan di tempat mana saja gambar atau foto mau diambil. Untungnya saya di malam hari sudah merekayasa kira-kira apa-apa yang bisa dikerjakan untuk pembuatan film ini. Dan kebetulan pula saya sudah pernah ke tugu Radio Rimba Raya. Dan saya jelaskan kemungkinan tempat-tempat yang bisa diambil untuk bagian dari film.

Jalur alternatif menuju tugu Radio Rimba Raya berupa
jalan desa yang masih alami berlatar belakang pegunungan

        Akhirnya kami lakukan semua proses pengambilan gambar dan film mulai dari masjid Ubudiyah di daerah KM 60 Keudai sampai ke Tugu Radio Rimba Raya. Semua lokasi ada di jalan utama Bireun- Takengon.

Secara prinsip, Radio Rimba Raya yang dipergunakan untuk mengumumkan berita-berita pada masa awal  kemerdekaan Indonesia tahun 1948-1949 alias menjadi PENYELAMAT kemerdekaan Indonesia. Monumen atau tugu Radio Rimba Raya diresmikan tahun 1987.   

          Bila kita memulai perjalanan dari masjid Ubudiyah atau lokasi kami mengambil bagian awal film, sebenarnya, ada jalan lain yang untuk menuju tugu Radio Rimba Raya yaitu melewati jalan belakang. Jalan masuknya adalah di samping kantor Dinas Pertanian daerah setempat. Di jalan belakang ini di kiri-kanannya adalah kebun penduduk yang ditanami kopi maupun tanaman lainnya sehingga kesannya lebih alami. Dan juga jalan ini  berlatar belakang  pegunungan yang sangat indah.


Yang pastinya, saya salut dengan semangat anak-anak muda di kampung Km 60, Rime Raya ini dalam membuat film dokumenter tugu Radio Rimba Raya.
Kameramen sedang mengambil adegan film

Hanya dengan diberi keterangan sedikit, mempergunakan peralatan yang sederhana, ditambah koordinasi antar mereka yang cepat dan tanpa bertele-tele, mereka sudah bisa menjalankan  proses pembuatan film lokasi wisata sejarah yang menjadi kebanggaan daerah mereka. Ternyata mereka orang-orang kreatif meski dengan keterbatasan fasilitas. Mereka inilah harta karun pariwisata Indonesia yang masih belum terpoles. Dan Semoga suatu saat mereka bisa membuat film-film yang lebih bagus lagi dengan  peralatan yang lebih lengkap  untuk memperkenalkan tempat-tempat wisata mereka yang bagus yang masih belum diungkapkan ke masyarakat umum. Dan dari merekalah nantinya tempat-tempat pariwisata bagus Indonesia bakal terungkap dan terdokumentasikan dengan baik (Luth)


Seluruh kru film berfoto bersama

-->

Comments

Popular posts from this blog

Adu Cepat di Dataran Tinggi Gayo

Tuma’ninnah dari sujud ke berdiri